Donald Trump dikenal sebagai figur populis yang
mengusung narasi antiperang dan pro-Amerika. Slogannya, "Make America Great
Again," menggema di seluruh dunia. Namun, di lapangan, realitas kebijakan
luar negerinya justru menunjukkan kontradiksi. Dalam banyak kesempatan, ia
mengakhiri pidatonya dengan kalimat, "God bless Israel, and God bless
America." Secara psikologis, frasa ini mungkin menyiratkan bahwa, bahkan
dalam alam bawah sadarnya, Trump memprioritaskan Israel daripada negaranya
sendiri, Amerika Serikat.
Lantas, apa maksud di balik fenomena ini? Ini adalah
bukti kuat bahwa bahkan sosok seblak-blakan Donald Trump sekalipun akan berubah
di dalam lingkungan kepresidenan. Ia tidak lagi sepenuhnya mengatur, melainkan diatur oleh lingkungan yang kuat.
Hadirin sekalian, izinkan saya memperkenalkan: BLOB.
"The Blob"
bukanlah organisasi resmi atau kelompok rahasia, melainkan sebuah konsensus luas dan jaringan individu yang saling terkait
yang memiliki pandangan serupa tentang bagaimana Amerika Serikat harus
menjalankan kebijakan luar negerinya. Istilah ini dipopulerkan oleh Ben Rhodes,
mantan wakil penasihat keamanan nasional pada masa pemerintahan Obama.
Ciri-ciri utama "The Blob" meliputi:
·
Bipartisan:
Fenomena ini tidak terikat pada satu partai. Anggotanya berasal dari Partai
Demokrat maupun Republik.
·
Konsensus Interventionist:
Mereka cenderung mendukung peran AS yang kuat dan intervensionis di kancah
global, penggunaan kekuatan militer sebagai alat kebijakan, aliansi yang kuat,
dan komitmen terhadap tatanan internasional liberal.
·
Jaringan Berputar:
Ada aliran individu yang terus-menerus bergerak antara posisi pemerintahan
(Departemen Luar Negeri, Pentagon, CIA, Gedung Putih), lembaga kajian ( think tank), universitas, perusahaan konsultan, dan
industri pertahanan. Hal ini menciptakan kesamaan pandangan dan kepentingan
yang mengakar.
Dapat dikatakan bahwa "The Blob" bukan
merujuk pada figur seseorang, melainkan adalah subideologi dalam struktur
pemerintahan AS, atau, lebih tepatnya, konsensus ideologis yang sangat
dominan dalam struktur pemerintahan Amerika.
Analogi Sejarah:
Kekuatan di Balik Takhta
Jika kita menilik sejarah, "The Blob"
memiliki kemiripan dengan kekuatan-kekuatan yang beroperasi di balik layar
istana pada zaman dahulu. Ia bisa diibaratkan seperti:
·
Lingkaran Bangsawan yang Mengatur
Raja (atau Presiden Modern): Mirip dengan
bagaimana para bangsawan kuat di masa lalu, meskipun secara teori tunduk pada
raja, seringkali memiliki kekuasaan dan pengaruh yang cukup besar untuk
membentuk atau bahkan mengarahkan kebijakan raja. Mereka memiliki basis
kekuasaan (tanah, pasukan, sumber daya), jaringan keluarga, dan kepentingan
yang mengakar kuat. "The Blob" memiliki basisnya di lembaga-lembaga
pemerintahan, think tank, dan industri, dengan jaringan individu yang
saling terkait. Presiden, seperti raja, mungkin memiliki otoritas tertinggi,
tetapi navigasinya sangat dipengaruhi oleh "lingkaran bangsawan" ini.
·
Kasim (Eunuch) di Kekaisaran
Tiongkok atau Janissary di Ottoman: Analogi ini juga
kuat karena menunjukkan kelompok yang secara formal adalah pelayan atau bagian
dari struktur kekuasaan kekaisaran, namun pada kenyataannya, mereka
mengumpulkan kekuasaan dan pengaruh yang luar biasa, seringkali menjadi
kekuatan di balik takhta.
o
Kasim:
Mereka adalah pelayan yang berada sangat dekat dengan Kaisar, mengendalikan
informasi, dan membentuk birokrasi internal. Mereka punya kepentingan untuk
menjaga sistem yang memberi mereka kekuasaan. "The Blob" juga
seringkali mengontrol aliran informasi dan pilihan kebijakan yang disajikan
kepada presiden.
o
Janissary:
Pasukan elite yang awalnya dibentuk untuk melayani Sultan, tetapi seiring waktu
mereka menjadi sangat kuat sehingga bisa mendikte atau bahkan menggulingkan
Sultan.1 Ini menunjukkan bagaimana alat kekuasaan bisa menjadi
kekuatan yang punya agenda sendiri. "The Blob" adalah
"alat" kebijakan luar negeri, tetapi juga memiliki kepentingan
institusionalnya sendiri yang mendorong kelangsungan keberadaannya dan ekspansi
pengaruh.
·
Dewan (Council) di Republik
Romawi atau bahkan Kekaisaran Romawi: Dewan-dewan
seperti Senat Romawi, meskipun pada awalnya mungkin dibentuk untuk menasihati
atau mewakili rakyat, seringkali menjadi entitas yang kuat dan mandiri, dengan
kepentingan aristokratis dan institusionalnya sendiri. Mereka punya pengalaman,
jaringan, dan tradisi yang membuat mereka sulit untuk diabaikan atau dibubarkan
oleh individu yang berkuasa. "The Blob" memiliki memori
institusional, keahlian yang mendalam, dan legitimasi yang membuatnya menjadi
pusat gravitasi kebijakan.
Semua analogi ini menyoroti poin kunci yang sama: "The Blob" merepresentasikan sebuah kekuatan yang,
meskipun mungkin tidak selalu memegang takhta secara langsung (yaitu,
kepresidenan), memiliki pengaruh yang sangat besar dalam membentuk kebijakan
dan membatasi pilihan pemegang takhta.
Kekuatan di Balik
Takhta sebagai Tanda Keruntuhan
Kekuatan di balik takhta seringkali menjadi tanda kuat bahwa sebuah kekaisaran akan musnah. Kita
bisa melihat fenomena ini dalam sejarah Kekaisaran Han, Ottoman, Abbasiyah, dan
yang paling terkenal, Romawi:
·
Kekaisaran Romawi:
Pengaruh militer dan kemudian panglima-panglima barbar seringkali menjadi
penentu siapa yang akan menjadi kaisar boneka. Senat, meskipun simbolis, juga
punya faksi internal. Ketidakstabilan politik ini berulang kali melemahkan Roma
dari dalam.
·
Dinasti Han:
Kekuasaan nyata seringkali berada di tangan kasim atau keluarga permaisuri yang berebut pengaruh di istana.
Ini menyebabkan korupsi sistemik, intrik politik yang menghancurkan, dan
akhirnya memecah belah kekaisaran menjadi faksi-faksi yang saling berperang,
membuka jalan bagi periode Tiga Kerajaan.
·
Kekaisaran Ottoman:
Meskipun memiliki sistem birokrasi yang kuat, periode-periode kemunduran
Ottoman sering ditandai dengan pengaruh besar kasim harem, ibunda sultan, dan terutama Janissary.
Janissary yang awalnya pelayan setia menjadi kekuatan militer yang
sangat kuat sehingga bisa menggulingkan sultan dan menghalangi reformasi.
Hal ini menguras sumber daya dan membuat kekaisaran stagnan.
·
Kekhalifahan Abbasiyah:
Setelah masa kejayaannya, kekuatan efektif Khalifah Abbasiyah seringkali
direbut oleh wazir, panglima militer (amir),
atau bahkan dinasti lokal yang memerintah atas nama Khalifah.
Khalifah seringkali menjadi simbol agama tanpa kekuasaan politik atau militer
nyata, membuat kekhalifahan rentan dan terfragmentasi.
Sejarah menunjukkan bahwa ketika kekuasaan sejati
tergeser dari pemimpin formal ke lingkaran pengaruh yang tidak akuntabel secara
langsung, stabilitas dan keberlanjutan sebuah kekaisaran bisa terancam.
Double standard ke Israel. Hipokrit, Forever war,
Kekalahan terus menerus..
Kita sekarang melihat sedang melihat Sejarah fenomenal
tapi ingat. Runtuhnya Negara Adidaya seperti USA akan mengguncang dunia . Runtuhnya
dominasi (hegemoni) Amerika Serikat akan mengguncang dunia.
Meskipun ini akan membawa ketidakpastian besar—terutama dalam stabilitas
ekonomi global di beberapa sektor yang sangat terintegrasi dengan sistem AS—ini
juga menandai marka awal transisi menuju dunia multipolar. Tatanan dunia
yang selama ini didominasi oleh satu kekuatan adidaya kemungkinan akan memberi
jalan bagi beberapa pusat kekuasaan (misalnya, Tiongkok, Rusia, Uni Eropa,
India, dll.) yang memiliki pengaruh lebih seimbang.
Perubahan ini, meskipun penuh tantangan, juga memiliki sisi positif dari
perspektif banyak pihak: "Bully terbesar dalam sejarah akan
musnah." pemaksaan kehendak, intervensi militer, dan standar ganda
dalam hukum internasional—akan berakhir. Tatanan multipolar diharapkan dapat
mendorong lebih banyak dialog, negosiasi, dan mungkin, pembentukan norma-norma
internasional yang lebih inklusif dan adil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar